Senin, 30 Juli 2007

Perdebatan Kelamin

“ Selamat ya bu, anaknya perempuan, sehat dan cantik seperti Ibunya…” Seorang Dokter memberi selamat pada seorang Ibu yang baru saja melahirkan lewat pertolongannya. Sang Ibu tersenyum bahagia, mensyukuri kelahiran putri pertamanya yang sehat dan cantik. Sekarang putrinya sedang dimandikan oleh seorang suster, untuk selanjutnya di adzankan oleh sang Ayah. Seluruh keluarga tampak bahagia, tapi tak sebahagia seharusnya. Mereka memang bahagia dengan kelahiran anggota baru dalam keluarga mereka, tapi yang lahir adalah anak perempuan, bukan laki – laki seperti yang diharapkan. Sang Ayah memasuki kamar bersaloin dengan mantap, lengkap sudah “identitas”nya sebagai laki – laki. Karena dia telah membuktikan pada dunia keberhasilannya mempunyai seorang anak. Dengan suara lantang, Ayah mengumandangkan adzan ditelinga si buah hati. Tampak Ayah menggendongnya dengan hati – hati, maklumlah anak pertama. Si buah hati pun tertidur manja di lengan Ayah, menikmati adzan yang di “dendang”kan Ayah.
“ Anakmu sudah lahr??!!..” tanya seorang temannya diujung telpon.
“ Alhamdullilah sudah, perempuan…berkat do’a kamu juga, dia cantik dan sehat” jawab si Ibu dengan nada bahagia.
“ O, perempuan…” terdengar nada kecewa dari mulut temannya.
Penggalan cerita yang sering kali terdengar ditelinga saya. Zaman sekarang kok masih sama seperti zaman Nabi dulu. Anak masih dibeda – bedakan hanya dengan melihat jenis kelaminnya. Memang sebuah jaminan kalo anak laki – laki bisa lebih baik dari anak perempuan. Bukankah jauh lebih nikmat punya anak perempuan, kita tak perlu diurus oleh menantu nantinya, karena anak kitalah yang akan merawat kita langsung. Saya teringat dengan penggalan kalimat dari buku yang baru beberapa hari lalu saya baca. Buku Ustd. Yusuf Mansur, yang berjudul Kun Fayakun. Dalam salah satu bab bukunya disinggung tentang perdebatan kelamin ini. Ustd. Yusuf menuliskan, bahwa ada 3 hal dari diri si bayi yang tidak bisa di tolak oleh sang bayi. 3 hal tersebut adalah dari rahim siapa si bayi tersebut akan dilahirkan, siapa nama yang akan diberikan oleh kedua orang tuanya nanti dan yang terakhir, jenis kelamin yang nantinya akan menjadi identitasnya. Ya, bayi manapun tak akan bisa memilih 3 hal tersebut. Begitupun kita sebagai orang tua, kita tak bisa memilih siapa yang akan kita lahirkan dari rahim kita, dan jenis kelamin apa yang nantinya akan kita terima, hanya 1 hal yang bisa kita pilihkan, yaitu nama.
Bayi manapun tak pernah mengerti apa yang harus dia lakukan didunia ini. Mereka hanyalah sesosok manusia yang belum berdosa, yang akan menjadi harapan untuk kedua orang tuanya. Kitalah yang akan “membentuk” mereka menjadi manusia terbaik. Karena itulah, tak perlu lagi ada perdebatan kelamin, karena Nabi pun telah menjadikan wanita jauh lebih mulia dari pada laki – laki, karena sampai kapanpun anak haruslah berbakti pada Ibunya (walaupun pada Ayah juga), walaupun dia telah menikah. Wanita juga mendapatkan banyak pahala – pahala “khusus” dari Allah di saat – saat tertentu. Seperti saat hamil, melahirkan dan menjadi seorang istri.
Berbahagialah siapapun anda yang diberikan “kesempatan” oleh Allah untuk memiliki seorang buah hati, apapun jenis kelaminnya. Karena keimanan wanita ataupun laki – laki adalah sama kedudukannya di mata Allah.

Jumat, 27 Juli 2007

Bisa karena Biasa

Semua pekerjaan pada awalnya mungkin terasa sangat berat kita lakukan. Terutama pekerjaan yang memang baru untuk kita. Belum melakukannya saja kadang kita sudah mengeluh, padahal setelah kita melakukannya tak jarang kita justru menyukainya. Saya juga merasakan banyak pengalaman tentang hal itu. Saya sering sekali mengeluh jika mendapatkan pekerjaan yang baru, yang sebelumnya tidak pernah saya lakukan. Tapi setelah saya melakukannya, sayajustru jadi terbiasa dan menyukainya.
Contoh simple saja, saat saya harus membiasakan diri untuk mengisi blog ini secara rutin, memang bukannya suatu keharusan untuk saya mengisi blog ini, tapi suami mengajarkan saya untuk terus melatih "keahlian" saya menulis, mubajir katanya. Pada awal menikah pun saya benar - benar harus belajar untuk "terbiasa" ditinggal bertugas oleh suami, baik tugas kantor maupun "tugas yang lainnya". Sulit memang, tapi setelah hampir 1 tahun menikah, sekarang saya yang kadang mengingatkan suami, apa ada tugas yang memang memerlukan "keikhlasan" saya untuk jauh dari dia. Khawatir pasti lah, mana ada istri yang suka ditinggal suami bertugas jauh, apalagi dalam keadaan hamil seperti saya sekarang. Tapi itulah, kalo memang biasa yang jadinya lama - lama menjadi bisa. Ga ada yang sulit kok kalo kita mau membiasakan diri untuk "menerima" keadaan yang memang telah digariskan untuk kita, toh ga ada ruginya kan kalo kita menerima keadaan dengan ikhlas, toh malah dapat pahala kan??!!

Rabu, 25 Juli 2007

Pentingnya Komunikasi dalam Rumah Tangga

Banyak kasus perceraian yang terjadi disekitar kita dilandasi dengan alasan kurangnya komunikasi. Kedua belah pihak pasangan saling berebut sibuk diluar rumah tanpa perduli dengan keadaan didalam rumah. Mereka juga tak lagi perduli dengan “hangat”nya situasi pernikahan mereka. Padahal apa sih yang kita cari dalam pernikahan kalau bukan kebahagiaan pernikahan itu sendiri. Tapi apa mungkin sebuah pernikahan bisa menjadi bahagia kalau kita hanya perduli dengan masalah kita masing – masing.
Kurangnya komunikasi juga terjadi karena salah satu pihak tidak lagi perduli dengan kondisi pasangannya yang mungkin saat itu sedang dalam situasi yang kurang menguntungkan, misalnya sang istri yang sedang di beri cobaan sakit parah, atau sang suami yang tiba – tiba harus di PHK dari pekerjaannya. Terkadang kita menjadi “menghakimi” pasangan kita, bukannya justru mensupport mereka agar bangkit dan menjadi lebih baik.
Saat semua permasalahan dalam rumah tangga kita datang satu persatu, dan kita merasa sudah tak sanggup lagi untuk menjalaninya, ada baiknya kita saling memberi ruang untuk satu sama lain. Bukan berarti kita harus pisah ranjang atau bahkan pisah rumah, tak perlu seekstrim itu. Cukup masing – masing kita menyendiri, memberi waktu untuk hati dan pikiran kita “bernafas”. Biarkan semua hal menjadi satu dalam hati dan pikiran kita. Semua kemarahan dan kekesalan, namun jangan terpancing untuk berbuat sesuatu yang justru akan disesali bersama. Justru disaat sendiri itu, kita harus bisa menelaah lagi kebelakang, “apa tujuan kita sebelum menikah”. “Apa yang kita cari”, “apa yang kita telah rencanakan sebelumnya”, dan “akan dibawa kemana nantinya rumah tangga kita ini”.
Satu demi satu pertanyaan diatas haruslah kita jawab dengan hati dan pikiran kita yang jernih, jangan menggunakan emosi. Nantinya malah akan menimbulkan penyesalan, “mengapa harus berjumpa dengan pasangan”, “kenapa harus menikah” dan banyak lagi penyesalan – penyesalan lainnya. Nah kalo itu yang terjadi maka bukannya perbaikan yang kita dapat, malah kandasnya pernikahan.
Itulah mengapa kita perlu menjaga komunikasi dengan pasangan kita. Tak perlu sulit mencari jalan untuk bisa menjaga komunikasi. Bukankah alat komunikasi yang ada sekarang sudah sedemikian canggih. Saat kita sibuk bekerja menghadapi layar komputer, kita juga bisa On Line internet dan chating dengan pasangan, selama chatingnya tidak mengganggu pekerjaan. Atau kita bisa juga ber-sms dengan pasangan disela - sela waktu sibuk kita, walau cuma menanyakan kabar pasangan, atau apa yang sedang dikerjakannya, pastilah pasangan akan merasa diperhatikan. Komunikasi juga bisa dilakukan dengan makan siang berdua dengan pasangan, kalo memang tempat kerja kita saling berdekatan. Ya itulah sekelumit cara yang bisa kita lakukan untuk tetap menjaga komunikasi dengan pasangan. Cara yang mudah, tapi cukup jitu. Pekerjaan tetap dapat berjalan dengan baik, dan pasangan pun tidak merasa “dicuekin” dengan kesibukan kita. Maka marilah kita saling menjaga komunikasi dengan pasangan, jangan sampai pernikahan kita kandas hanya karena kurangnya komunikasi kita dengan pasangan, apalagi banyak sarana yang dapat kita gunakan untuk tetap menjaga komunikasi.

Selasa, 24 Juli 2007

Ingatlah Wajah Ibu Untuk Cerminan Langkah Kita

Beberapa minggu yang lalu saya membeli buku karangan Ustd. Yusuf Mansur yang berjudul Kun fayakun. Buku itu membahas semua persoalan hidup di sekitar kita dengan segala pemecahannya yang mengembalikan permasalahan itu sendiri ke Maha pemilik urusan tersebut, yaitu Allah. Buku yang bagus sekali untuk referensi kita. Buku yang banyak banget mengajarkan saya tentang arti hidup yang sebenarnya. Memang terkadang kita selalu saja melihat segala pemasalahan dengan kacamata kita sebagai manusia, padahal apalah daya kita sebagai manusia, melihat roh kita saja kita tak mampu, apalagi mau menentukan kehidupan kita sendiri, sungguh sombong kita.
Dalam salah satu bab di buku itu, saya menemukan artikel yang menyentuh hati. Sebuah artikel sederhana yang menuliskan tentang Ridha Allah yang sangat berkaitan dengan Ridha Orang Tua. Ustd. Yusuf menuliskan bahwa saat kita tidak bisa “menggambarkan” wajah Allah, maka mari kita mengingat wajah Ibu kita untuk menghindarkan kita dari hal – hal yang buruk. Karena Ridha Allah tergantung pada Ridha Orang Tua, terutama Ibu. Bahkan Rasul menyebutkan Ibu 3 kali sebagai orang yang harus kita hormati, baru setelahnya Ayah. Mungkin tidak terpikir dalam benak kita berapa banyak dosa kita, seperti apa marahnya Allah saat kita melakukan kesalahan. Tapi mengapa kita tidak melihat pada wajah Ibu. Betapa sedihnya Ibu saat kita melakukan kesalahan. Ibu pasti merasa bersalah dan berdosa karena merasa salah mendidik kita. Padahal segala yang kita lakukan bukanlah salah Ibu. Ibu telah mengingatkan kita, Ibu juga telah mendidik kita dengan hal – hal yang baik jauh sebelum kita lahir. Ibu memberi kita makan yang bergizi, makanan yang halal. Ibu berjuang antara garis tipis kehidupan dan kematian saat melahirkan kita, Ibu juga menjaga kita dengan segenap jiwa raganya tanpa mengeluh. Itulah mengapa Ibu menempati tempat yang sangat utama dihadapan Allah.
Untuk itulah saat kita merasa bimbang akan apa yang harus kita pilih, antara kebaikan dan keburukan maka ingatlah wajah Ibu, dengan begitu kita akan mampu untuk mengerem langkah kita. Jangan kecewakan Ibu, dengan begitu Allah juga tidak akan mengecewakan kita, insyaallah….

Senin, 23 Juli 2007

Tanggung jawab Siapa.....?

Hampir disetiap kanan kiri jalan kita melihat begitu banyaknya anak – anak jalanan berkeliaran. Mereka tak lagi perduli dengan keadaan sekitar, yang mereka tau hanyalah bagaimana caranya untuk mendapatkan uang yang banyak. Namun sayangnya uang itu bukan untuk keperluan mereka, tapi lebih kepada “kepuasan” orang tua mereka yang notabene pengangguran.
Setiap hari anak – anak itu “berkelahi” dengan waktu, dengan para penguasaha jalanan yang tak henti memeras mereka, belum lagi dengan keinginan mereka sendiri untuk bisa merasakan “kebebasan” seperti anak – anak usia mereka. Mereka tak lagi bersepatu, bersandalpun tidak. Mereka bertelanjang kaki berlari mencari sesuatu yang mereka sendiri tak pernah menikmatinya.
Satu hal yang membuat saya selalu berdecak kagum dengan keadaan mereka adalah senyum mereka yang selalu riang, berlari dari satu bis ke bis yang lain, mengejar satu pintu mobil ke pintu yang lain. Mereka tak perduli dengan bahaya yang mengincar mereka. Mereka selalu riang. Tapi ada juga hal lain yang membuat saya selalu miris. Karena ternyata keadaan ini bukanlah mereka yang mau, mereka tak pernah mau melangkah untuk mengadahkan tangan, mereka tak pernah sanggup menatap mata – mata yang melecehkan mereka. Mereka terlalu kecil untuk itu.
Saya masih ingat dengan jelas beberapa kaliamat yang tertuang dalam undang – undang yang jelas – jelas menjanjikan “kemewahan” untuk mereka. Ya, fakir miskin dan anak – anak terlantar dipelihara oleh negara. Sangat jelas bukan, bahwa tempat mereka bukanlah di jalanan seperti sekarang ini. Mereka layak mendapatkan yang lebih baik. Mereka wajib merasakan sekolah, bermain, dan aktifitas lain yang seharusnya dilakukan anak seumur mereka. Bukan seperti yang mereka lakukan sekarang. Jelas bukan perlakuan yang adil. Mereka tidak seharusnya merasakan kepedihan itu, hanya karena keadaan yang tak perduli lagi dengan mereka. Mungkin tak banyak yang dapat kita lakukan, karena “keawaman” kita sebagai wagra negara. Namun masih ada yang dapat kita lakukan. Ya, setidaknya kita masih bisa memberikan hati kita untuk mereka, waktu kita, dan juga tenaga kita, dengan memberikan mereka kesempatan untuk merasakan nikmatnya kasih sayang dan indahnya sekolah. Jangan ragu untuk melapangkan segalanya untuk bisa menjadikan mereka jauh lebih baik lagi. Karena tanpa kita sadari, mereka adalah tanggung jawab kita bersama

Sabtu, 21 Juli 2007

TETAP MESRA WALAUPUN MENDAPAT COBAAN

Memang membosankan kalau kita melakukan hal yang sama terus menerus dalam waktu yang lama. Manusia butuh kedinamisan dan keharmonisan dalam hidupnya. Kegiatan kita yang selama ini kita geluti sehari – hari akan membuat kita menjadi penat dengan keadaan sekitar. Setelah kita penat, maka akan muncul tindakan yang tidak maksimal dalam melakukan segala hal. Kita cenderung sensitif akan hal – hal kecil, kita juga menjadi paranoid dengan hal yang bahkan belum terjadi dalam hidup kita. Kalau hal itu sudah terjadi, maka segala hal tidak akan dapat berjalan dengan baik.
Begitu juga dalam kehidupan berumah tangga. Kita butuh dinamisasi dan keharmonisan antara suami dengan istri, anak dengan orang tua, menantu dan mertua, juga kita dengan para tetangga dan keluarga besar. Di kota besar seperti jakarta, mungkin banyak tempat yang menawarkan “surga keharmonisan” untuk keluarga. Dari mulai maal, taman hiburan, sampai taman – taman kota memasang “jaminan” kebahagiaan untuk seluruh anggota keluarga. Tapi terkadang kita lupa, bahwa sebenarnya kesemuanya itu tidaklah perlu kita beli dengan mahal. Banyak hal dapat kita lakukan bersama keluarga tanpa harus keluar uang banyak, bahkan mungkin tanpa uang sekalipun.
Saya dan suami telah mencobanya sendiri. Memang apa yang kami lakukan hari ini tidaklah kami rencanakan sebelumnya, kami lebih memandangnya sebagai “kemesraan di balik cobaan” atau mungkin “tetap mesra walaupun mendapat cobaan“. Ya, kami mendapatkan “hikmah” kemesraan itu tanpa sengaja.
Pagi hari tadi, seperti agenda – agenda sebelumnya, saya dan suami berangkat bersama keluar dari rumah kami. Sebelum berangkat kekantor suami mengantar saya terlebih dahulu kerumah orang tua saya yang kebetulan memang tidak jauh dari rumah kami, baru suami berangkat ke kantor. Tapi pagi itu, ban mobil kami bocor di tengah perjalanan menuju rumah orang tua saya. Karena tidak memungkinkan melanjutkan perjalanan, maka kami mengganti ban terlebih dahulu. Di tengah jalan, pagi – pagi, dengan kondisi jalan yang cukup ramai, kami cuek mengganti ban. Saat suami mengganti ban, suami meminta saya melap keringatnya yang keluar deras karena panas udara dan mungkin kelelahannya mengganti ban. Dan tanpa malu – malu atau pikir panjang, saya pun melakukannya. Terjadilah adegan “mesra” itu dipinggir jalan. Suami yang sibuk mengganti ban, sedangkan saya sibuk melap keringat suami.
Saya tersadar, ternyata tak sulit untuk menjalin kemesraan dengan suami. Bahkan ditengah jalan pun kita masih bisa melakukannya, dan tanpa memperlihatkan kesusilaan pula. Saya begitu bahagia, karena ditengah kepadatan agenda suami, kami masih bisa membuat kemesraan diantara kami bahkan tanpa mengeluarkan uang sedikitpun. Kami juga bisa memaknai sebuah cobaan / kejadian dengan jauh lebih baik, tanpa marah – marah, tanpa mengumpat, dan tanpa menyalahkan keadaan. Tapi justru “berterima kasih” pada keadaan, karena mungkin tanpa kejadian ini kami tak akan bisa memanfaatkan waktu kebersamaan kami dengan hal - hal yang “sepele” tapi manis. Dan ternyata mesra itu tidak perlu mahal & repot kan…??!!

Kamis, 19 Juli 2007

MENGINGATKAN TAK HARUS MENGHAKIMI….TERUTAMA KEPADA SEORANG TEMAN

Yang ingin saya share saat ini adalah sebuah pelajaran berharga yang pernah saya dapatkan dari sebuah pertemanan. Saya termasuk orang yang sulit bergaul dengan teman yang sejenis dengan saya (perempuan), entah kenapa sedari kecil saya justru banyak mempunyai teman – teman yang berjenis kelamin laki – laki. Dengan mereka saya merasa lebih “hidup”, lebih dihargai dan lebih nyaman dalam berbicara banyak hal. Sedangkan dengan teman – teman perempuan saya, saya justru selalu merasa “terancam”, tidak nyaman dan terkadang membuat saya risih dengan topik – topik perbincangan mereka. Dan ternyata ketidakcocokan saya dengan kaum saya itu membuahkan sebuah pelajaran yang membuat saya semakin “berhati – hati” dengan mereka. Ringkas cerita saya dan dia (sebut saja X), menjadi sahabat, sebenarnya bukan sahabat juga sih, karena kami kenal juga baru, dan kami sama sekali “berbeda” dalam banyak hal. Kedekatan kami dilandasi rasa saling percaya, setidaknya itulah yang saya lakukan terhadap dia, saya percaya sama dia, saya leluasa bercerita tentang banyak hal ke dia. Termasuk beberapa cerita pribadi saya. Itulah tonggak “perpecahan” antara saya dan dia.
Beberapa saat yang lalu, saya mendapati X menulis sebuah surat singkat kepada calon suami saya (sekarang sudah menjadi suami saya), memang isi suratnya bukanlah ungkapan perasaan dia kepada calon suami saya. Tapi lebih ke bentuk “kepedulian” X terhadap proses saya dan calon suami. X menasehati saya dan suami dengan berbagai dalil agama. Jujur sebagai seorang yang awam terhadap agama saya takjub dengan pengetahuan agamanya, saya juga sangat terkesima dengan perhatiannya terhadap saya dan calon suami. Tapi membaca surat singkatnya dengan seksama membuat dada saya sesak. Saya menjadi orang paling hina. Saya tidak menyangka sebagai seorang yang pada suratnya itu dia mengaku sebagai seorang sahabat dia sanggup menulis seperti itu. Ingin saya menumpahkan semua kekesalan saya kepadanya, tapi untuk apa…Bukankah itu hanya membuat saya sama dengan dia, sama – sama tidak menghargai persahabatan??!!
Saya belajar banyak sekali lewat peristiwa “berdarah” itu. Saya tidak ingin peristiwa yang sama terulang lagi. Cukup sekali dalam hidup saya, orang memperlakukan saya seperti itu. Calon suami juga menguatkan saya, entah apa yang terjadi kalau calon suami tidak membesarkan hati saya waktu itu. Tentu saya akan sangat terpukul. Semua saya pendang dengan kebesaran hati. Saya tidak ingin terus meratapi kisah saya dengan X, bagi saya masih banyak teman yang jauh lebih perduli kepada saya melebihi dia.
Saya lebih berhati – hati lagi dalam melangkah, bercerita dan memilih teman. Buat saya, teman yang baik tidak hanya bisa membuat kita lebih baik, tapi juga menjaga segala hal yang kita percayakan kepadanya. Seorang teman yang baik juga tidak akan pernah membuat temannya kecewa. Seorang teman yang baik juga akan menjaga perasaan temannya, walaupun dalam hal mengingatkan, ada bahasa yang lebih bijak untuk menyentuh hati, bukan bahasa yang menghakimi ataupun membuat teman kita justru semakin jatuh dalam permasalahannya.
Saya belajar untuk menjadi seorang teman yang baik, saya belajar untuk menjaga apapun yang diamanahkan teman saya, kalaupun harus saya bagi dengan orang lain, tentu cerita itu akan saya bagi dengan orang terpecaya seperti suami. Dan tentunya dalam mengingatkan saya akan belajar untuk menggunakan bahasa yang jauh lebih bijak dan menyejukkan bukan menghakimi, apapun kesalahan teman saya itu. Karena tiada satupun manusia yang sempurna.......ya kan??!!

Rabu, 18 Juli 2007

MEMPENGARUHI MELALUI KEBAIKAN

Kebersamaan kita dengan orang lain dalam waktu yang sama akan membuat dua kemungkinan. Kita yang terpengaruh dengan segala kebiasaan orang tersebut, atau justru sebaliknya kita yang mempengaruhi orang tersebut dengan kebiasaan – kebiasaan kita, entah kita sadari ataupun tidak. Banyak contoh kasus yang terjadi dalam simbiosis ini. Salah satu contoh sederhananya adalah saat kita mempunyai teman akrab dari mulai kita kecil sampai kita dewasa sekarang, pastilah ada beberapa kebiasaan teman kita yang tanpa sadar kita tiru, atau mungkin saat teman kita melakukan sesuatu tanpa sadar juga dia melakukan kebiasaan – kebiasaan kita, baik yang baik maupun yang buruk.
Dalam pernikahan, hal tersebut sangat banyak terjadi. Ada kalanya sang istri yang mengikuti kebiasaan sang suami, tapi kadangkala sang suami yang mengikuti kebiasaan sang istri. Dalam pernikahan saya, banyak hal kecil yang kadang membuat saya dan suami tersenyum saat kita bersama, karena ternyata walaupun pernikahan kami masih berusia dini tapi ada banyak hal yang telah membuat kita saling terpengaruh satu sama lain. Contohnya saat saya belum menikah saya sangat sulit bangun pagi, bahkan mungkin bisa dikatakan saya bangun pagi dengan terpaksa kalau memang ada hal – hal mengharuskan saya untuk melakukannya, tapi setelah menikah karena suami punya kebiasaan bangun pagi yang bisa dikatakan ekstrim, maka saya jadi terpengaruh, walaupun tak jarang kami harus “bersitegang” terlebih dahulu. Sedangkan suami setelah menikah banyak terpengaruh dengan kosa kata yang saya gunakan, padahal sebelum menikah suami termasuk orang yang “kaku” dalam berbahasa. Belum lagi dengan gaya bercanda kita yang saling mempengaruhi. Suami “mengajarkan” saya gaya bercandanya yang “kaku” tapi lucu, sedangkan saya “mempengaruhi” suami dengan bercanda saya yang blak – blakan dan cenderung rusuh.
Pernikahan memang satu lembaga yang bisa dibilang tidak ada sekolahnya, baik formal maupun non formal. Dalam pernikahan kita belajar secara otodidak tentang apapun yang terjadi didalamnya. Saat ijab kabul di ucapkan, saat kita telah sah menjadi suami istri, maka saat itu juga kita berdua (suami & istri) mulai belajar tentang apapun yang terpampang didepan mata. Kita belajar tentang sifat & sikap masing – masing pasangan kita, kita juga belajar tentang keluarga masing – masing, belum lagi kita belajar tentang bagaimana mengelola rumah tangga dengan baik, untuk kita sendiri juga anak – anak nantinya.
Itulah sebabnya kenapa kita harus “mengenal” terlebih dahulu pasangan kita. Karena setelah kita memasuki sebuah ruang yang namanya pernikahan kita tidak bisa merubah lagi apapun yang telah terpampang didepan kita, kita hanya bisa menjalaninya dengan baik. Karena itu adalah pilihan kita. Tapi jangan takut terpengaruh dengan kebiasaan orang lain, apalagi saat kebiasaan itu adalah kebiasaan yang baik. Namun alangkah lebih baik lagi kalau kita yang mempengaruhi orang lain dengan kebiasaan – kebiasaan baik kita, karena orang akan selalu mengingat kita dengan kebiasaan – kebiasan baik yang kita tularkan kepadanya. So mulai dari sekarang mari kita mulai mempengaruhi orang lain dengan kebiasaan – kebiasaan baik kita....Dan menjadikan berbuat baik menjadi kebiasaan.

STOP MENGELUH......SAATNYA MUHASABAH

Terkadang sebagai manusia kita selalu mengeluh akan hal – hal yang tidak atau belum kita capai dalam kehidupan ini. Tidak jarang juga kita sering “menyalahkan” Allah atas semuanya. Terkadang terpikir juga benarkah segala yang telah kita dapatkan didunia ini adalah memang telah digariskan untuk kita??!! Benarkah apa yang sudah kita peroleh ini adalah kerja keras kita semata??!! Benarkah masing – masing dari kita telah mempunyai porsi yang berbeda dalam hidup ini??!!
Segala sesuatu di alam ini telah tercipta dengan sedemikian sempurnanya, sangat sempurna sampai kita sebagai manusia terkadang membutuhkan waktu yang sangat lama, hanya untuk menemukan sebuah obat untuk sebuah penyakit, padahal bahan yang diperlukan telah ada sejak dahulu, bahkan mungkin telah sangat dekat dengan keseharian kita. Kita juga masih belum mengrti beberapa alasan mengapa beberapa hal terjadi, atau apa fungsi penciptaannya. Contoh saja nyamuk, bagi kita nyamuk mungkin makhluk yang paling mnyebalkan, hanya menyebabkan penyakit. Tapi kenapa Allah menciptakan nyamuk, apa fungsi yang tersembunyi didalmnya??!! Sampai saat ini kita belum juga bisa menemukan alasannya. Itulah kita manusia. Tapi bukan itu yang ingin saya “bedah” hari ini. Saya sangat tertarik dengan perkataan seorang teman beberapa saat yang lalu. Dia mengomentari sebuah kejadian. Saat itu teman saya itu mendapat “kehormatan” untuk mendo’akan seorang teman lainnya yang istrinya akan melahirkan. Keterlambatan dalam melahirkan itu telah terjadi selama 3 hari dari perhitungan dokter. Pada hari keempat, alhamdullilah sang bayi lahir dengan selamat, begitu juga dengan keadaan sang ibu. Sungguh penantian dan perjuangan yang sangat luar biasa. Lalu apa yang dikatakan teman saya...
“ Sungguh setiap apa yang ada di bumi dan langit telah berjalan dengan waktunya yang telah ditentukan sebelumnya. Segalanya tidak akan meleset walaupun hanya dalam bilangan detik, begitu juga dengan lahirnya sang bayi ke dunia”. Saat itu saya tidak mengerti maksud yang tersembunyi dalam kata – kata teman saya itu. Perlu waktu yang cukup lama bagi saya untuk menemukan penggalan makna yang tersembunyi dari kata – katanya. Beberapa waktu saya mencoba membuka kembali referensi buku – buku saya yang membahas tentang WAKTU. Dimana waktu dibahas secara islam, syar’i dan tidak dalam kacamata manusia. Di sana saya menemukan makna kata – kata teman saya yang tersembunyi.
Ternyata teman saya benar, segala yang ada di langit dan di bumi tidaklah berjalan sendiri, bahkan dalam Islam, tidak pernah mengenal kata KEBETULAN, karena Allah telah menggariskan apa yang ada dalam hidup kita, baik yang baik, ataupun yang buruk. Segala yang kita lihat, kita sentuh, kita rasa adalah sebuah karunia terbesar yang Allah berikan kepada kita. Cobalah kita lihat dalam tata surya, apakah matahari pernah lupa untuk terbit dan tenggelam, apakah bumi pernah malas untuk berputar pada porosnya... tentu saja tidak. Karena segalanya telah memiliki waktu dan tugas masing – masing begitu juga dengan kita.
Untuk itulah kita mengenal kata MUHASABAH, atau melihat, menginstropeksi diri atas segala yang terjadi pada diri kita. Apa yang terjadi pada diri kita, mungkin adalah buah dari apa yang sebelumnya telah kita lakukan. Maka apakah kita masih boleh mengeluh??!! Mengapa kita tidak mencoba untuk lebih bijak lagi menilai apa yang telah kita raih dalam hidup ini. Kalaupun mungkin ada hal – hal yang belum kita dapatkan, mungkin itu hanya masalah waktu. Karena bagaimanapun hanya Allah yang Maha Tahu, kapan waktu yang terbaik untuk masing – masing dari diri kita. Berhentilah untuk mengeluh dan mari kita belajar untuk lebih membuka hati bagi apapun yang terjadi dalam diri kita. Jangan sampai kita menjadi rugi hanya karena membuang waktu mengeluh dan meratap atas kegagalan atau keberhasilan kita yang tertunda.

Senin, 09 Juli 2007

MARILAH KITA BERHITUNG LEWAT "KACAMATA" ALLAH

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkanhartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkantujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya)lagi Maha Mengetahui." (Terjemah QS. Al-Baqarah [2] 261)
Membaca Janji Allah diatas, membuat saya percaya, bahwa sebenarnya tidaklah mungkin ada orang yang akan menjadi miskin setelah bersedekah. Bahkan mungkin saja justru kita bisa menjadi jauh lebih kaya lagi dengan bersedekah. Bagaimana tidak, coba saja kita hitung dengan ilmu matematika kita, berapa kali Allah melipat gandakan uang kita yang kita pakai untuk sedekah. Tapi entah fenomena apa yang terjadi sekarang, rasanya sekarang kita lebih banyak berhitung tentang berkurangnya uang kita, dibanding dengan "ganjaran" yang nantinya akan kita terima. Sungguh tidak masuk akal bukan...
Kita sebagai manusia sering kali menghitung dengan logika matematika kita, bukan dengan "logika" Allah. Padahal, kita tahu, apa yang tidak mungkin di tangan Allah, bahkan hal yang kadang kita anggap tidak mungkin sekalipun, bagi Allah Maha Mudah untuk melakukannya. Untuk kita yang telah bekerja, kadang dengan bilangan gaji yang tertera di slip gaji kita, mustahil rasanya kita bisa bersedekah, untuk kebutuhan sehari - hari kita saja kadang kita harus berfikir dua atau tiga kali membelanjakannya. Terutama untuk kita yang sudah berkeluarga, tentunya kita harus lebih cermat lagi untuk memainkan angka - angka itu, agar keluarga tidak terbengkalai. Kadang kita juga harus menyisihkan untuk orang tua, atau adik - adik kita. Rasanya bilangan angka itu semakin sempit saja...
Marilah kita coba untuk merenung sejenak, adakah didunia ini 1 hal saja yang sia - sia Allah ciptakan??!! Atau Adakah 1 saja firman Allah yang "meleset" dari kebenarannya??!! Rasanya TIDAK. Allah Maha Mengetahui keadaan hambanya, dan Allah juga Maha Memberi. Bahkan orang kafir saja Allah beri, apalagi kita sebagai umatnya yang taat??!! (Ups, tapi apakah kita umatnya yang taat, kalau untuk bersedekah saja kita tidak pernah melakukannya??!!...)
Marilah kita kembali kepada janji Allah tentang sedekah, marilah kita belajar untuk memakai "logika" Allah bukan sekedar logika manusia saja, marilah kita belajar untuk berbagi dengan yang lain, bukankah saat kita sedang kesusahan kita juga akan merasa bahagia dengan bantuan orang lain, dan marilah kita menjadi makhluk Allah yang taat, karena tiada lain yang akan kita terima selain surgaNya. Semoga kita termasuk didalamnya, dengan segala keimanan kita. amin