Senin, 18 Februari 2008

Allah Mengajari Kami Untuk Saling Ber-Empati

Baru saja hari minggu kemarin Bidadari Kecilku pulang dari Rumah Sakit karena Panas tinggi dan Diare, eh sekarang Ayahnya yang masuk Rumah Sakit, karena Operasi Hernia.

Aku memang ga menyalahkan keadaan, karena aku tau, memang sudah seharusnya hal ini terjadi. Tapi rasanya rasa lelah minggu lalu belum juga lepas dari badan ini, sekarang sudah di "paksa" lagi untuk kembali berpacu dengan waktu dan berbagi antara Ayahnya di Rumah Sakit dengan Pasyaku di rumah.

Dalam kelelahan menunggui Ayahnya Pasya yang masih terbaring lemas karena baru saja keluar dari Rumah Sakit, aku mencoba menelaah apa hikmah indah dari kejadian berurut ini. Aku mencoba melihat kembali ke beberapa waktu yang lalu. Saat aku terbaring lemas di kasur Rumah Sakit 4 bulan silam, saat harus melahirkan Pasyaku lewat Operasi Caesar, keadaanku tak jauh berbeda dengan Ayahnya Pasya sekarang. Lemah, badan rasanya tak beraturan rasanya, makan tak lagi menyenangkan seperti di rumah, apalagi tidur, rasanya aku tak pernah lagi bermimpi...Aku banyak "mengajarkan" pada Ayahnya Pasya tentang hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh sehabis Operasi. Disinilah aku sadar tentang 1 hal, bahwa saat ini Allah sedang mengajarkan kami untuk saling ber-Empati. Ayahnya Pasya jadi tau rasanya terbaring lemas di kasur Rumah Sakit dengan selang infus dan jahitan di tubuhnya, mau gerak aja susah apa lagi mau jalan. Sedangkan saya di ajarkan untuk tau bagaimana capeknya Ayahnya Pasya dulu mondar mandir ke Rumah Sakit setiap hari, naik turun lift untuk sekedar cari makanan yang saya mau atau menebus obat keperluan saya dan Pasya. Kami juga di ajarkan untuk saling "berbagi" dalam ketakutan kami menanti kabar dari ruang Operasi. Belum lagi be-BTan menunggu Dokter Bedahnya Visit, maklumlah Dokter Bedah yang menangani kami adalah salah satu Dokter Bedah yang cukup laris di Rumah Sakit itu.

Itulah hikmah yang sejauh ini kami rasakan. Kami belajar untuk lebih "berterima kasih" lagi dengan kebersamaan kami yang selama ini kami rasakan.

Selasa, 12 Februari 2008

Kedekatan yang di Rindukan

Seorang Ibu tua menangis sendu di pelataran rumahnya. Sudah sekitar 2 hari dia memandangi cucunya bermain tanpa bisa ikut bermain bersamanya. Sang cucu selalu menangis setiap kali si Ibu Tua itu ingin "meraih"nya. Bukanbeggarnya dia tak berusaha, ini adalah kali ke 5 si cucu bertandang main ke rumahnya bersama dengan orang tuanya, anak sulung si Ibu Tua. Tapi sudah lima kali pula si cucu selalu menangis saat berdekatan dengannya.

Si Ibu Tua mencoba menerawang kembali ke masa lalu, saat si cucu masih sangat kecil, saat semua yang terjadi sekarang belumlah menjadi kenyataan. Dia ingat, saat si cucu lahir, walaupun dia adalah cucu pertama yang lahir dalam keluarga besarnya, namun si Ibu Tua serasa tak punya waktu untuk sekedar menengoknya. Entah apa yang membuatnya enggan melihat wajah lucu tanpa dosa itu, wajah yang terpahat dari darah dagingnya sendiri... Si Ibu Tua juga ingat saat si cucu tergolek lemah di Rumah Sakit, saat semua orang memberikan perhatian ekstra padanya, si Ibu Tua yang adalah Neneknya, seolah tak perduli dengan keadaannya. Dia juga tak tergerak untuk menengoknya. Itu hanya sekelumit dari beberapa kejadian yang membuatnya jauh dari cucu yang selama ini di rindukan kehadirannya.

Tapi rasa sesal itu kini tak lagi berarti apa - apa. Semuanya telah berlalu, sirna lenyap beriring dengan waktu yang terus merambat maju. Si cucu sudah tak mengenalinya lagi sebagai Nenek, tak lagi perduli dengan kehadirannya. Bahkan cenderung menganggapnya tak lagi ada. Sekarang semua hanyalah impian untuk mengulang kembali semua waktu yang telah hilang....

Pasyaku tergolek lemas di pelukanku....

Panas Pasya kecilku semakin merambat naik seiring berjalannya hari, sampai pada saat malam setelah semua orang lelap dalam tidurnya, aku harus memeluk tubuh mungilnya yang telah tergolek lemas ke Rumah Sakit. Wajahnya yang tak lagi "perduli" dengan kehadiranku dan Ayahnya, membuat kami di landa ketakutan yang sebelumnya tak pernah kami rasakan. Panas itu telah membuatnya lemah, tak berdaya, tidur namun tetap sadar dalam pelukkan ku...

"Ini di rawat aja ya, Bu. Tubuhnya sudah kekurangan cairan..." Kata Dokter di UGD. Aku termangu, tanpa sadar timbul rasa bersalah dalam hatiku, kenapa harus kamu nak, yang merasakan sakitnya jarum infus itu, kenapa tidak Bunda atau Ayah saja. Pasya kecilku tertidur dengan infus bergelayut di tangan kirinya.

Pagi harinya, Panas badannya turun, bahkan mendekati ambang normal. Dia juga sudah tidak selemah semalam. Senyum sudah menghiasi wajahnya yang cantik, walau sedikit di paksakan. Aku, dan Ayahnya lega. Kami berdua tak hentinya berucap syukur, ternyata do'a kami semalaman tak sia - sia. Kami mendekati tubuh mungilnya, memeluknya dengan kasih yang tak pernah kami tau berapa ukuran besarnya. Tapi sungguh kami sangat menyayanginya...

"Hari ini Pasya sudah boleh pulang, Bu.." Kata Dokter anak yang merawatnya. Alhamdulilah...hanya Allah yang Maha Menggenggam segala kerisauan hati dan hanya Dia pulalah yang sanggup mengabulkan segala do'a. Aku dan Ayahnya menghela nafas lega, bayi kecil kami telah sembuh, dia tak lagi sakit, tak lagi lemah dan sudah bisa ceria seperti sedia kala.

Kami pulang dengan sejuta do'a, semoga ini adalah sakitnya yang pertama dan terakhir. Aku takkan sanggup lagi melihatnya tergolek lemah dalam pelukkanku.... Cepat sembuh ya Pasya kecil Bunda, Do'a Bunda Dan Ayah selalu untukmu, sayang.....

Rabu, 06 Februari 2008

Sakitmu Deritaku......

Hari ni Pasya kecilku sakit...Badannya panas sampai 38 derajat. Dia juga rewel banget, bukannya hal yang aneh seh, kita saja orang dewasa saat sedang "ga enak body" pastinya juga kita ngerasa "asing" dengan diri kita. Pasya ku juga pasti begitu.... Dia sudah aku bawa ke dokter, dengan penuh kecemasan aku dan ayahnya membawanya ke dokter UGD jam 3 dini hari tadi. Bukannya kami tak tahu kalau malem - malem itu tak ada Dr. Anak yang "stand by" tapi mau bagaimana lagi, keadaan Pasya yang panas tinggi juga muntah beberapa kali membuat kami tak lagi sanggup bermain logika dan kompromi dengan jumlah uang di kantong, yang terlintas pertama kali dalam benak kami adalah Pasya bisa sembuh dan tawanya kembali ceria. Itu saja, selebihnya biarlah menjadi urusan belakang...

Sekarang Pasya kecilku masih saja menangis, karena panas yang masih "bergelayut" di badannya, rasanya panas itu tak mau jauh darinya walaupun sudah kami usir dengan segenap tenaga kami, baik lewat obat Dokter, maupun obat tradisional lainnya. Tapi kami tak pernah beranjak dari sampingnya, bahkan segenap keluarga "bergotong royong" membantu untuk meredakan sakitnya. Kami ingin dia segera ceria.....

Pasya kecilku... Tangismu adalah sayatan luka dalam hatiku, perih melukai kalbuku yang terdalam. 9 bulan kau "menyatu" dalam tubuhku, dengan sejuta rasa yang aku bawa, kau juga membawanya. Sakitmu adalah deritaku, maka segeralah sembuh, agar untaian senyummu dapat kembali mengembang indah di bibirmu...