Sabtu, 23 Juni 2007

Anak adalah Amanat....

Saya sempat ngobrol dengan beberapa teman2 yang sudah menikah tentang PLUS MINUS nya seorang IBU BEKERJA. Dalam hal ini, saya berdiri sebagai sebagai seorang anak "korban" Ibu bekerja. Saya mencoba memberikan pendapat saya dari kacamata seorang anak. Saya juga mencoba "jujur" pada diri saya sendiri, saya tak ingin di anggap "bahagia" dengan kondisi kedua orang tua saya yang saat itu adalah pekerja (walaupun saya akui, saat saya kecil tak sedikitpun kasih sayang orang tua yang kurang terhadap saya).
Seorang teman mulai bertanya " Kalo Ibu bekerja itu, si anak lebih mandiri ya..., tapi ya itu tadi dia jadi kurang "terikat" dengan si ibu ". Lalu teman saya yang lain menambahkan, " Iya, kebanyakan Ibu bekerja juga punya waktu yang sedikit untuk anak2nya, kecuali yang bekerja wiraswasta / lebih banyak dirumah. Si anak juga jadi "cuek" dengan Ibu, kalo Ibu pergi, dia tidak perduli, bahkan cenderung tidak pernah sadar ada atau tidaknya si Ibu disampingnya". Kedua teman saya itu adalah seorang pekerja, teman saya yang 1 sudah dikaruniai seorang putra yang tampan dan cerdas, sedangkan teman saya yang lain adalah pekerja yang sekarang sedang menghitung bulan menantikan kehadiran si buah hati.
Saya tersenyum miris dalam hati...
Memang terkadang keadaan kami sebagai seorang Ibu berada dalam posisi yang tidaklah mudah, bahkan cenderung dilema. Kami sangat ingin membaktikan Ilmu kami, tapi di sisi lain ada tanggung jawab yang juga tidak bisa dikatakan sepele atau mudah. Saya teringat dengan Novelet karya Habiburrahman yang minggu lalu saya baca, novel yang menuliskan tentang seorang perempuan yang cerdas, berpenghasilan tinggi, dan cantik, tapi dia belum juga menikah di usianya yang telah menginjak 34 tahun. Ada banyak kesamaan kami dengan tokoh yang di gambarkan dalam Novelet itu, kecuali status gadis si tokoh. Kami juga cantik, berpendidikan tinggi, dan kami juga cerdas. Tapi di Novelet itu menulis dengan jelas, bahwa keterlambatan si gadis menikah adalah karena dia terlalu idealis dengan dirinya dan pilihannya. Dia menganggap bahwa mencari ilmu setinggi mungkin adalah sebuah keharusan, itulah yang membuat dirinya terlambat untuk menikah. Kesamaan lain dengan kami adalah, mungkin idealisme kami juga sangat tinggi, kami merasa bahwa kami telah mencapai gelar sekolah kami, lalu untuk apa kalau kami hanya berdiam diri tak berkreatifitas, apalagi hanya mengandalkan uang dari suami.
Ah...rasanya makin miris hati ini.
Teman saya lalu berkomentar lagi tentang keinginannya pensiun dini dari kantor, karena dia tidak ingin kehilangan masa2 indah mengasuh si buah hati, tapi apakah itu tidak terlambat...Karena sekarang saja anaknya telah berusia 1 tahun. Bukankah masa2 indah bersama anak adalah saat si anak berusia 0-7 tahun kurang lebihnya.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa banyak juga Ibu bekerja yang "berhasil" mendidik anaknya menjadi seseorang. Mereka berhasil mendidik tak kalah hebatnya dengan para Ibu yang tidak bekerja. Saya kembali merenungi kata2 kedua teman saya. Saya jadi teringat kata2 seorang teman yang lain (yang saat itu tidak ikut dalam diskusi kecil kami), Anak adalah Amanat, bagaimanapun kita harus menjaga amanat tersebut. Tidak semua orang bisa mendapat kesempatan untuk bisa mendapat amanah itu. Sekarang, tidakkah kita egois jika kita lebih mementingakan keinginan kita diatas kepentingan si anak.
Kata2 saya ini tidak bermaksud menghakimi teman2 saya yang notabene adalah pekerja, juga ibu2 pekerja diluar sana. Saya juga tidak bermaksud untuk membela teman2 saya yang sekarang berstatus sebagai Ibu Rumah Tangga, juga Ibu2 Rumah Tangga lain diluar sana.
Ibu bekerja tidaklah sepenuhnya buruk, banyak juga generasi berbobot yang lahir dari asuhan mereka. Tak bisa kita pungkiri juga bahwa mereka telah membuat roda ruang kerja kita bergerak begitu dinamis. Bayangkan tanpa Ibu bekerja tentunya tidak akan ada lagi senyuman ramah di Teller2, di Customer Office, apalagi suara2 merdu di telpon saat kita tersambung ke sebuah kantor, tentu sebuah pemandangan yang membosankan bukan?? Ibu bekerja juga ikut ambil bagian dalam “bertambah”nya uang belanja dirumah, walaupun banyak juga Ibu bekerja yang hanya ingin “memperkaya” dirinya sendiri.
Ibu Rumah Tangga juga bukanlah sebuah status yang pantas dipandang sebelah mata, hanya karena mereka berada didalam rumah seharian. Tapi dengan keberadaan mereka 24 jam dirumah itulah diharapkan tumbuh generasi yang lebih berkwalitas. Ibu Rumah Tangga juga dapat menjadi tumpuan anak selama yang anak inginkan, karena setiap si anak punya masalah, dia tahu bahwa ada Ibu di rumah yang selalu menantinya dengan pelukan hangat. Tapi banyak juga Ibu Rumah Tangga yang karena “kurang”nya kegiatan meraka, mereka lebih banyak menghabiskan waktu mereka untuk sekedar duduk didepan TV, ngobrol dengan tetangga, atau sekedar pergi ketempat2 arisan. Mereka melupakan apa sebenarnya tugas pokok mereka berada dirumah.
Itulah yang membuat saya sadar, bahwa setiap Ibu adalah anugrah bagi keluarga mereka, terlepas dari apapun status mereka. Dan seorang anak adalah anugrah bagi setiap Ibu. Maka selayaknyalah kita selalu belajar menjadi Ibu yang baik untuk semua buah hati kita, dan menjadi payung utama untuk keluarga kita, apapun status kita.
PS : Semoga tulisan ini dapat menjadi bahan perenungan bagi kita semua tentang tujuan kita diciptakan sebagai seorang Ibu.

Tidak ada komentar: